Langsung ke konten utama

ATURAN ADAT RAJA – RAJA DI KERAJAAN SAMBAS



ATURAN ADAT  RAJA – RAJA DI KERAJAAN SAMBAS

A.    Dasar Hukum
Adapun yang menjadi dasar hukum  di Kerajaan Sambas disebut dengan Qaa Noen ( undang – undang ) atau aturan adat raja – raja zaman dahulu. Qaa Noen ini merupakan hukum yang berlaku di kerajaan Sambas secara turun menurun. Hukum ini memiliki dasar atau sendi yang kukuh dan kuat. Hal ini terbukti , walaupun telah melalui rentang waktu yang panjang dan masyarakat telah hidup dalam kekuasaan pemerintah yang silih berganti dengan corak yang berbeda – beda, namun keberadaan hukum adat itu masih tetap diakui dan tetap hidup tengah – tengah masyarakat hingga saat ini. ( Pemda Sambas, Adat Istiadat Melayu Sambas, Sambas 2004 Hal  126 )

Seperti yang dikemukakan terdahulu bahwa pada masa pemerintahan Sulthan Muhammad Tsafiuddin II, baginda mengikat kontrak dengan Gubernemen Belanda pada tanggal 6 Agustus 1866. Kemudian pada tanggal 23 Agustus 1877 oleh Residen Belanda di Pontianak bernama C. Kater  kontrak itu diperbaharui dalam hal pengganti uang kerugian dari hasil duane , candu dan garam kepada Sulthan . Kemudian pada tanggal 20 September 1912 datang ke Sambas W . Frijling sebagai Regeeringscomisaris Borneo untuk mengikat kontrak politik ( Korte Verklaring ) , kontrak panjang dihapuskan , dengan penghapusan ini , pemerintahan lama dirubah menjadi pemerintahan Landschap ( Zelfbestuur ) yang memerintah sendiri disusun beberapa peraturan yang menentukan perbedaan antara rakyat pribumi dan Non Pribumi . Dimana rakyat pribumi harus tunduk dan takluk dengan hukum Sulthan sedangkan rakyat non pribumi yaitu orang – orang Timur dan Eropa hanya tunduk dan takluk pada hukum Pemerintah Belanda

Pada masa Sulthan Muhammad Tsafiuddin sampai dengan pemerintahan Sulthan terakhir Sulthan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin hukum Qaa Noen itu hanya berlaku untuk rakyat pribumi sedangkan orang – orang non pribumi yaitu orang – orang timur asing dan bangsa Eropa menggunakan hukum yang dibuat oleh Kerajaan Belanda

Hukum Qaa Noen yang berlaku di Kerajaan Sambas seperti yang tertulis dibuku Qaa Noen Kerajaan Sambas yang telah di alih aksara oleh Pemda Sambas 2004, Adat Istiadat Melayu Sambas Hal 128 – 130 adalah
 Hukum yang diserahkan kepada Bendahara itu hukum orang yang berjawatnya dan memerintah segala  Tuan – tuan dan segala Sayid – sayid dan anak segala orang besar – besar ataupun hukum yang diserahkan kepada Temenggung itu sebarang ada hukum Negeri dan tegak berhasil. Adapun hukum yang diserahkan kepada Syahbandar hukum segala dagang dan anak yatim piatu dan segala orang yang teraniaya ujung rantau dan teluk dan barang sebagainya. Ketahuilah olehmu adapun hukum adat itu turun menurun daripada zaman Sulthan Iskandar Zulkarnain sampai kepada zaman sekarang ini supaya dapat akan teladan mana – mana orang yang akan jadi ganti Raja – Raja pada memerintah segala adat yang terhimpun kepada segala menteri – menteri , maka dihimpunkan  hukum ini atas empat puluh enam pasal” 

B.   Aturan Qaa Noen Kerajaan Sambas
Adapun pasal - pasal sebagai isi Kitab Qaa Noen adalah sebagai berikut :
Pasal  1      :  Adat majelis raja – raja dan larangannya
Pasal  2      :  Hukum peribahasa raja – raja
Pasal  3      :  Hukum segala rakyat dan orang–orang besar/mulia yang mati ( meninggal )
Pasal  4      :  Hukum segala sampai pada dusun dan negeri yang ditaklukkan
Pasal  5      :  Membunuh tidak setahu raja
Pasal  6      :  Menyatakan orang mengamuk
Pasal  7      :  Hukum merdeka membunuh abdi
Pasal  8      :  Menetak orang
Pasal  9      :  Menyatakan dapat membunuh
Pasal 10     :  Hukum membawa bidar orang
Pasal 11     :  Hukum orang mencuri
Pasal 12     :  Hukum menanya anak orang
Pasal 13     :  Hukum orang lari dan orang yang menyembunyikan hamba orang
Pasal 14     :  Hukum menuduh orang dan bersangkal
Pasal 15     :  Hukum menyatakan upahan pada berjual beli
Pasal 16     :  Hukum berkelahi dan bertikam
Pasal 17     :  Hukum mengambil upahan membunuh
Pasal 18     :  Hukum angkara ( merajalela )
Pasal 19     :  Hukum segala buah – buahan didalam kebun
Pasal 20     :  Hukum berhuma ( berladang )
Pasal 21     :  Hukum lembu , kerbau yang nakal
Pasal 22     :  Hukum Huma yang terbakar
Pasal 23     :  Hukum seseorang mendapat binasa, seperti orang lari, lapar, mahal beras padi
Pasal 24     :  Hukum mencuri hamba orang
Pasal 25     :  Hukum berkawin
Pasal 26     :  Hukum Syahid pada nikah
Pasal 27     :  Hukum Syahid pada nikah
Pasal 28     :  Hukum khiyar yaitu mata pada perempuan
Pasal 29     :  Hukumn Talak
Pasal 30     :  Hukum segala cupak gantang
Pasal 31     :  Hukum berhitung
Pasal 32     :  Hukum berjual bumi
Pasal 33     :  Hukum Sandra
Pasal 34     :  Hukum orang yang berpiutang
Pasal 35     :  Hukum kelakuan didalam arti tidak syah memberi dagangan
Pasal 36     :  Hukum member modal pada orang
Pasal 37     :  Hukum amanah
Pasal 38     :  Hukum Ikrar
Pasal 39     :  Hukum Murtat
Pasal 40     :  Hukum saksi tidak dikabulkan
Pasal 41     :  Hukum menuntut yang dituntut
Pasal 42     :  Dari pada Nabi Muhammad SAW “ Akil baliqr seorang membunuh  seorang islam dengan sengaja “
Pasal 43     :  Hukum hal zinah
Pasal 44     :  Hukum memaki orang haram zadah
Pasal 45     :  Hukum Khadi minum arak
Pasal 46     : Pada menyatakan mengambil upah dari pada menyatakan pegawai raja ( tata tertib pegawai raja ) terhadap raja. Kewajiban raja terhadap rakyat. Kewajiban menteri terhadap raja. Syarat – syarat menjadi raja,   menteri,khadi.  Perkataan perkataan supaya hamba Allah Taa’la pelihara  dengan kurnia Tuhan.
Pasal 47     :  Adat tunang meminang
Pasal 48     :  Adat membakar lading
Pasal 49     :  Angga, Eleng, Mala, Pataka, Makna, Wazir

               Hukum adat ini turun menurun dari zaman Sulthan Iskandar Zulkarnaen , supaya dapat dijadikan teladan kepada siapa saja ( orang – orang ) yang akan menjadi raja supaya dapat dijadikan mematuhi segala adat yang terhimpun dalam hukum ini. Sulthan Iskandar Zulkarnaen memerintah di Malaka pada tahun 1396 – 1444 masehi.
               Sabda Nabi Muhammad S.A.W , bahwasanya Allah Taa’la mengadakan raja di dalam dunia atau orang – orang besar melainkan tempat menyerahkan hamba Allah yang banyak pada ia, maka jika kita memelihara mereka itu , maka dimasukkan Allah kedalam neraka kekal ia selamanya. Sabda Nabi berikutnya : dua orang umatku tidak beroleh syafaatku pada hari kiamat , pertama raja atau orang – orang besar zalim, kedua orang yang melebihi perbuatan syariatku.

Adapun isi pasal – pasal yang terdapat di dalam Qaa Noen adalah sebgai berikut
Pasal  1          :  Adat majelis raja – raja dan larangannya
Pada pasal ini berisikan tentang aturan yang tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa dan hanya boleh dipakai oleh orang yang mendapat perhargaan atau anugerah dari raja yaitu :
1.      Tidak boleh memakai segala kekuning – kuningan yang dikaruniakan kepada pejabat kerajaan  dan jika dipakai oleh orang lain dengan tidak mendapat anugrah dari Raja maka dibunuh hukumannya

2.      Tidak dibolehkan memakai kain yang tipis lagi jarang dibalai raja – raja atau dipintu kota melainkan titah yang dikaruniakan dipakai diluar kota atau ditempat yang lain, kalau hal tersebut dilakukan maka dicarik atau ditolakkan hukumnya

3.      Tidak boleh memakai ulu keris emas dibawah sejengkal melaikan dengan anugrah raja, jika dipakai oleh orang lain tanpa anugrah raja dirampas hukumannya

4.      Yang boleh memberi cucunya hulu keris emas hanya Pangeran Bendahara

5.      Adapun syarat segala  hamba raja yaitu :
a.       Benar dibarang takluknya
b.      Menurut titah raja karena wajib menurut titah raja
c.       Mengharap ampunan Tuanku

6.      Adapun syarat segala  raja – raja adalah :
a.       Ampun
b.      Murah
c.       Pengasih
d.      Melakukan amar atas hukumannya

Pasal  2          :  Hukum peribahasa raja – raja
Pada pasal ini menyatakan hukum bahasa untuk raja, ada lima istilah bahasa yang dipergunakan untuk raja yaitu :
1. Titah
2. Patik
3. Murka
4. Karunia
5. Anugerah

Jika ada hamba raja atau rakyat mambiasakan dirinya dengan menggunakan kata – kata tersebut kepada seseorang dibunuh hukumnya.

Pasal  3     : Hukum segala rakyat dan orang–orang besar/mulia yang mati ( meninggal )
Pasal ini menyatakan hukum untuk rakyat dan orang – orang besar , orang – orang mulia yang meninggal yang mendapat anugerah tanpa titah dari raja apabila menggunakan atribut yang dipakai oleh raja dirampas hukumnya seperti memakai alas kuning, batang bantal kuning , sapu tangan kuning dikoyak hukumnya oleh yang melihat

Pasal  4           :  Hukum segala sampai pada dusun dan negeri yang ditaklukkan
Pasal ini menyatakan hukum negeri, sungai, dusun pada negeri yang ditaklukkan yaitu apabila berbunuh – bunuhan atau membunuh atau menikam , merampok orang atau memukul atau manusuk atau mencuri harta orang atau  menuduh orang atau mendustakan hukum atau menjawab atau menyangkal titah sekalianya itu masing – masing dengan hukmnya.

Pasal  5           :  Membunuh tidak setahu raja
Pasal ini menyatakan orang membunuh dengan tiada setahu raja atau menteri – menterinya atau orang besar – besar hukumnya didenda sepuluh tahil atau sepuluh seperempat tahil . Ada empat macam yang termasuk dalam kategori membunuh tanpa setahu raja , menteri dan hakim yaitu :
  1. Membunuh madunya
  2. Membunuh orang engkar
  3. Membunuh orang mencuri yang tidak dapat ditangkap
  4. Membunuh orang memberi aib seperti ditampar atau lainnya
Barang yang memberi aib besar sebelum sampai kepada hakim, jika sudah sampai pada hakim dibunuhnya juga maka hukumnya didenda sepuluh tahil sepahala. Apabila membunuh madunya tetapi madunya lari masuk kekampung orang lain, jika diikat oleh yang punya madu kemudian ditahan oleh orang yang punya kampong sehingga terjadi perkelahian, mati orang yang mengikat  madunya maka hukuman mati saja tidak dibicarakan lagi. Apabila seseorang membawa titah dari raja untuk mengambil istri orang tidak boleh dibunuh , apabila dibunuh durhakalah ia kepada rajanya maka dibunuh hukumnya atau didenda sekati lima tahil.

Pasal  6           :  Menyatakan orang mengamuk
Pasal ini menyatakan hukum orang mengamuk, apabila tertangkap dibunuh tanpa setahu raja atau menteri kena denda sepuluh tahil sepahala.
Syarat orang menjadi menteri  :
  1. Tapa has sebenar – benarnya rakyat
  2. Tahu diri akan hukum
  3. Tahu ia mengambil upah
  4. Mendengar kata kedua  pihaknya
  5. Tahu ia akan dibicarakan takkala taruhkan hukum dengan keras perangainya
Syarat orang besar – besar apabila sudah tertangkap orang yang mengamuk sebelum ia membunuh atau melukai orang lalu dibunuhnya maka orang yang membunuh kena denda setahil sepahala,

Pasal  7           :  Hukum merdeka membunuh abdi
Pasal ini menyatakan hukum bagi orang yang membunuh abdi raja :
  1. Membunuh abdi raja yang tidak bersalah dendanya mengantikan tujuh kali tujuh , jika tidak dapat mengganti dibunuh hukumnya, apabila yang membunuh abdi raja yang tidak bersalah itu orang besar didenda sekati lima tahil.
  2. Membunuh abdi raja yang salah misalnya mencuri kemudian dibunuh hukumnya denda dengan menganti harganya setengah kepada orang besar setengah lagi kepada tuanya.
  3. Mencuri menurut hukum Allah tidak harus dibunuh melainkan dikurung hukumnya
  4. Jika yang mencuri itu hamba raja setelah ditangkap kemudian dibunuh maka hukumnya denda sepuluh tahil sepahala.
  5. Jika abdi raja itu dibunuh karena dituduh mencuri dan abdi itu tidak melawan sama sekali maka dendanya menganti harganya dengan sepenuhnya.
  6. Jika abdi raja yang tidak bersalah itu dibunuh oleh orang merdeka dendanya mengganti harganya dengan sepenuhnya.

Pasal  8           :  Menetak orang
Pasal ini menyatakan hukum menetak orang
  1. Jika abdi menetak orang merdeka maka ulur kepadanya dan jika merdeka menetak abdi kena denda ia setengah harganya kalau ia miskin sepuluh emas dendanya
  2. Jika abdi menetak merdeka dan jika merdeka menetak abdi dengan salahnya kena denda lima emas, jika tiada salahnya kena denda sepuluh emas, jika ia banyak mulutnya seperti memaki – maki dan lainya tiada dendanya.
  3. Jika abdi menampar abdi atau  merdeka menampar merdeka kemudian ditikamnya sampai mati maka tiada hukumnya
  4. Jika merdeka memaki abdi orang dibalas memaki dan jika abdi memaki merdeka dikunyah hukumnya dan ditanggalkan giginya dan jika merdeka  memaki istri abdi orang maka dibunuhnya merdeka oleh abdi itu suatupun tiada hukumnya.
  5. Jika orang menampar hendaklah yang kena tampar membalas dengan tampar atau ditikam dalam waktu tiga hari, jika lewat waktu tiga hari tidak boleh lagi mengambil balas, jika dibunuhnya juga setelah tiga hari didenda lima karat lepas.

Pasal  9           :  Menyatakan dapat membunuh
Pada pasal ini menyatakan dapat membunuh itu empat martabat :
  1. Bendahara sewaktu memeriksa negeri atau desa dapat membunuh dengan tiada titah raja
  2. Temenggung haruslah membunuh tiada dimintai titah lagi
  3. Shahbandar takkala di kuala barang siapa tiada menurut katanya, takkala ia membawa dagang atau pada waktu memeriksai tiadalah lagi meminta titah
  4. Nakoda harus membunuh dengan tiada titah karena ia raja pada masa dilaut

Pasal 10          :  Hukum membawa bidar orang
Pada pasal ini menyatakan hukum membawa bidar pada orang dan hamba orang dan hamba raja dengan tiada setahu penghulunya, maka dendanya setengah harganya dan jika setengah hari perjalanan atau lebih maka kenalah mengganti bidar tersebut


Pasal 11          :  Hukum orang mencuri
Pada pasal ini menyatakan hukum orang yang mencuri
  1. Jika seseorang mencuri didalam kampung diketahui oleh orang kampong tersebut kemudian pencuri tersebut dibunuh tiada salah yang membunuh, dan apabila pencuri tersebut dapat melarikan diri kemudian beberapa hari baru ketemu tidak boleh dibunuh hukumnya, melainkan dihukum saja seperti naik kerbau, dibubut sunting bunga raya, diberi payung tudung saji , diconteng moreng dengan kapur dibawa berkeliling negeri / kampong untuk disaksikan oleh orang ramai kemudian baru dihukum sesuai dengan perbuatannya.
  1. Jika seseorang mencuri tanam – tanamam seperti tebu , pisang , sirih pinang atau buah – buahan pada malam hari kemudian pencuri itu ditikam oleh yang punya tanaman tiada salah atasnya dan apabila pencuri tersebut didapat siang hari didenda sepuluh emas dan harta yang dicurinya digantungkan pada lehernya dibawa keliling negeri.
  1. Jika seseorang mencuri perahu dan didapat oleh yang punya perahu diminta perahu itu atau gantinya serta dengan sewanya dan patut dihukum sepuluh emas
  1. Jika seseorang mencuri , kerbau , lembu ayam dan itik dari kandangnya kena denda satu tahil sepahala dan kerbau diminta sesuai harganya.
  1. Jika seseorang mencuri kambing dibawah rumah dipinta kambing atau harganya serta kena denda sepuluh emas diminta harganya
  1. Jika seseorang mencuri ayam atau itik didenda lima emas diminta harganya dan jikalau ia abdi tuannya yang membayarnya
  1. Menurut hukum allah Ta’ala hukum mencuri sekedar membayar harganya tiada didenda.
 
Pasal 12          :  Hukum menanya anak orang
Pada Pasal ini menyatakan hukum anak istri orang
  1. Jika seseorang menanyai anak istri orang dengan setahu suaminya disuruh hakim menyembah lakinya  di depan majelis hakim kemudian dihukum denda dua tahil sepahala dan jika tidak setahu lakinya didenda sepuluh tahil dan jika yang menanya dibunuh oleh lakinya maka lakinya didenda lima tahil, karena yang menanya tiada harus dibunuh melainkan yang patut membunuhnya orang besar – besar. 
  1. Jika adapun orang yang menanyai anak orang itu harus didenda oleh hukum dua tahil sepahala, jika tahu bapanya atau dinikahinya kemudian menanggung semua perbelanjaannya tidak didenda jikalau tiada patut didenda satu tahil sepahala, dan jikalau orang yang menawar hamba orang lain didenda lima emas atau dinikahkan dan jika kedapatan yang diambil anak abdi orang didenda sepuluh emas.
  1. Hukum menangkap orang yang diwathi’nya ( disetubuhnya ) sepuluh emas jika yang menangkap orang merdeka yang menangkap itu lalu di wathi’nya lalu diadukan oleh perempuan itu kepada hakim disuruh mengawini perempuan itu hukumnya, kalau tiada mau dinikahkan denda satu tahil sepahala serta dipinta dengan isi kawinnya adat hamba raja.
  1. Hukum Allah  jika ia muhshin direzam hukumnya arti mahsyar yang sudah merasai nikah laki – laki ataupun perempuan kemudian berzinah direzam hukumnya, jika bujang dan dara didera hukumnya. Adapun hukum orang yang menuduh orang berzinah pada hukum qanuun didenda sepuluh tahil, dan jika yang dituduh itu abdi didenda dua tahil sepahala atau setengah harganya.

Pasal 13          :  Hukum orang lari dan orang yang menyembunyikan hamba orang
Pada pasal ini menyatakan orang laki dan orang menyia – nyiakan hamba orang dan mengurung hamba orang yang lari hukumnya diserahkan kepada bendahara untuk memutuskan hukumannya.

  1. Jika hamba orang lari pada anak sungai jauh dari pada negeri kira – kira dua hari atau sehari semalam pelayaran dibagi tiga pada penghulu sungai itu dibagi dua kepada tuannya, dan jikalau lari kelaut kenegeri orang tiadalah timbul lagi malainkan syafaat orang besar – besar dalam negeri itu jua akan tuannya. 
  1. Jika hamba orang lari dari negeri diberikan untuk yang mendapatkannya tiga emas
Jika lari dari dalam kota keluar kota tebusannya bagi yang mendapatkannya satu emas.
Jika lari  dari dalam kota sampai ke kuala tebusan tiga emas

  1. Hukum orang yang menjual dan menyia – nyiakan hamba orang itu, jika didapat didalam rumah dirampas hukumnya, tiada didapat didalam rumah didenda lima tahil jikalau ada ia abdi tiada mau menembusi dia masuk ulur kepada yang empunyanya.
  1. Adapun orang yang bersekutu dengan orang mencuri hamba orang atas menyembunyikan hamba orang kena denda dua tahil.
  1. Hukum orang yang mencuri titah raja dibunuh atau dibelah lidahnya atau dikupas kulit kepalanya dan jika seseorang berbuat dusta kepada bendahara atau menteri – menteri di coreng mukanya atau denda dua tahil.

 Pasal 14         :  Hukum menuduh orang dan bersangkal
Pada pasal ini menyatakan hukum orang yang menuduh orang  dan ia bersangkal
1.   Hukum orang yang menuduh orang dan ia bersangkal pada saat ditanya hakim tiada banyak perlawanan disaksikan dua orang saksi yang adil dihukum oleh hakim atas adat qanun yaitu ; disuruh bersalam air, bercelur minyak atau timah panas, jika tiada saksinya maka disuratkan suatu itu pada tembikar kuali, itulah yang disuratkan “ Aku tunjukkan benar siAnu ( sebut namanya ) dengan siAnu ( sebutkan namanya ) setelah itu dilebur dalam kuali disuruhkan keduanya ,mengambil air dengan sekali celup tangannya dan barang siapa yang kalah dihukumkan dengan hukum negeri atau dusun jikalau salah satunya dibunuh didenda barang yang patut pada salahnya atau diampuni.

2.   Adapun jikalau seseorang menuduh seseorang mengambil istri orang, jikalau benar tuduhannya dibunuh atau ulur yang situduh dan jikalau menang yang dituduh dibunuh yang menuduh jikalau tiada dibunuh didenda sepuluh tahil sepahala.

Pasal 15         :  Hukum menyatakan upahan pada berjual beli
Pada pasal ini menyatakan upahan pada berjual beli atau narik kayu atau menyelam atau barang sebagainya :
1.      Barang kemana pergi mengambil upahan juga kerjanya maka diupah oranglah jika ia mati dia kena menggantikan setengah harganya jua adanya, jikalau setahu tuannya mengganti sepertiga harga

2.      Apabila disuruh orang yang meminjam menarik kayu tiba – tiba jatuh dan mati maka kena sepertiga harganya dan adapun kalau seseorang meminjam kerbau atau lembu maka ditanduknya lalu mati kena ganti setengah harganya, jikalau dipinjam mengeleng disuruh menarik kayu lalu mati atau menghilang kena ganti setengah harganya

3.      Jikalau dipinjam lembu atau kerbau atau kambing ditaruhkan didalam kandang kemudian ditangkap oleh harimau diganti sepertiga harganya dan jikalau orang minjam ditentukannya kemudian maka perbuat akan lainnya kena mengganti setengah harganya seperti seseorang meminjam pisau raut , atau parang kemudian patah menganti sepenuh harganya

4.      Jikalau dikerjakannya  atas yang ditentukannya tiadalah diberi ganti demikianlah hukum qanun. Sebermula jikalau dipinjam oleh seseorang akah sahaya perempuan maka di wathi’nya ( disetubuhi ) oleh yang meminjam, apabila ia lagi dara ( perawan ) didenda sepuluh emas, kain sehelai dan baju sehelai Jika ia janda didenda lima belas emas tiada kain dan baju.

Pasal 16         :  Hukum berkelahi dan bertikam
Pada pasal ini menyatakan hukum berkelahi dan bertikam
1.    Seorang berkelahi atau berbantah – bantahan kemudian bertikam lalu ditolong oleh seseorang dengan tikam dengan palu atau barang sebagainya apabila yang menolong tersebut terluka atau mati tiada suatu hukum diatas lawannya karena ia sudah ikut campu dengan urusan orang lain.

2.      Ada tiga perkara pekerjaan yang dapat kita peduli:
a.       Menolongi seseorang membunuh madunya harus kita peduli
b.      Menolong sahabat yang baik pada jalan yang benar harus kita peduli
c.       Menolong orang yang teraniaya yang tiada ia dapat melapor kepada raja atau orang besar – besar sebab jauhnya atau berdalih tiada tahu berkata – kata atau tiada dapat melawan karena banyaknya lawan.

3.      Adapun peduli yang salah lagi takshir dihukum dengan hukum takshir. Jika seseorang pergi membunuh atau atau melukai atau memukul – mukul yang tiada dapat disalahkan kepadanya maka didenda seperti denda peduli dua tahil sepahadan kecilnya denda peduli setahil sepaha.

4.      Adapun pada orang yang turut menolong menikam atau memukul itu sepertiganya yang pokok pangkal pekerjaannya denda sekati lima atau sepuluh tahil atau satu tahil dan denda yang peduli bagi tiga hukumannya.

5.      Jikalau seseorang menolongi sahabatnnya kena sepertiga juga dendanya walaupun ia benar. Kita boleh peduli terhadap tiga perkara :
a.       Tiada sampai sahabatnya kepada hakim
b.      Tewas atas mhelawan seterunya
c.       Dengan benarnya maka peduli kepada sahabatnya misanya seperti sahabatnya membunuh madunya atau tertampar oleh orang atas patutnya.

6.      Demikianlah juga hukumnya dengan tiada bersalahnya dan lagi dihukum orang peduli itu, jikalau mati sahabatnya yang ditolong itu adalah segala belanja seperti kain kafannya dan lainnya atas orang jikalau tiada tahu hakim didenda yang mengupah itu setahil sepaha dan apabila yang mati itu abdi didenda seharganya.

7.      Jikalau ia merdeka didenda oleh hakim sepuluh tahil sepaha karena takshir sebab tiada memberitahu hakim dan jikalau ianya tahu hakim mengupah memukul orang itu didenda sepuluh tahil jua.

     
Pasal 17         :  Hukum mengambil upahan membunuh
Pada pasal ini menyatakan hukum mengambil upahan membunuh

1.      Orang yang mengambil upah seseorang untuk membunuh orang , terbunuh orang yang hendak dibunuh maka yang mengupah itu kena denda sepuluh tahil dan sekalian belanja mayit dari pada adanya
2.      Jikalau seseorang mengupah dengan setahu hakim maka mati orang yang diupah membunuh maka yang mengupah kena denda belanja mayit
3.      Jikalau orang yang mengupah dan yang diupah sama – sama mati maka belanja mati kedua – duanya ditanggung oleh anak atau keluarga yang mengupah.
4.      Jika seseorang yakni menanyai tunangan orang yang sudah memberi tanda akan kawinya, maka ditawarnya dengan setahu ibu bapak perempuan itu kemudian tahu tunangannya diberi tahu kepada hakim , maka dipanggil hakim ibu bapak perempuan itu dan ditanyai jikalau sungguh setahunya dan jikalau bersangkal / mungkir ia disuruh kembalikan jikalau ada cikram kepada perempuan itu dan didenda oleh hakim yang menawar itu sepuluh tahil sepaha
5.      Jikalau tiada ia tahu tunangan orang tiada dia kena denda, jikalau tahu ibu bapa perempuan itu akan seseorang menawar anaknya, disembunyikan anaknya itu tunangan orang kenala denda seperti adat cikram, jikalau laki – laki yang menawar tiada tahu dan ibu bapa perempuan tiada meenerima maka tiadalah salah lagi keduanya.
6.      Adapun yang dapat menolak cikram ada tiga perkara yang tiada dibenarkan :
a.       Dapat dikembalikan cikramnya sebab laki – laki itu ada ber’aib / cacat yang tiada diketahui oleh ibu bapa perempuan itu baru ia tahu harus dikembalikan dengan tiada ganda adanya.
b.      Laki – laki itu bermadu mengambil istri orang lain
c.       Bersalahan hukum laki – laki dengan perempuan
7.      Adapun sebab pada perempuan ada tiga perkara :
a.       Abdi yang tiada diketahui maka harus dipinta cikramnya
b.      Perempuan itu aib tiada laki – laki dipintanya cikramnya
c.       Perempuan itu berpenyakit seperti busung dilobang perut serta bibirnya dan buruk parasnya itupun harus dipinta kembali tiada hilang cikramnya
Maka kabullah seorang dari pada keduanya akan aib demikian hukum adanya

       
Pasal 18         :  Hukum angkara ( merajalela )
Pada pasal ini menyatakan angkara itu dua perkara:
1.   Adapun merajalela itu diatas dua perkara :
a.       Membunuh orang dengan tiada setahu raja
b.     Mendatangi kampung orang didenda oleh hakim sekati lima jika ia membunuh orang didenda sepuluh tahil

2.   Ingkaraju yaitu menawar tunangan orang atau melakukan kehendaknya dengan tiada berkira – kira yaitu salah dihukumkan dengan hukum engkar

3. Hukum orang mabuk yang dipangil seseorang kerumahnya maka lari ia atau menikam orang atau memukul orang ia hendaklah ditangkap jikalau tiada tertangkap oleh yang punya rumah hingga ia sadar dibalas saja qisas padanya. Karena melainkan jikalau ia mati dirumah orang itu hanya kena denda dua tahil sepaha


Pasal 19         :  Hukum segala buah – buahan didalam kebun
Pada pasal ini menyatakan hukum buah – buahan didalam kebun
1.      Apabila buah – buahan didalam kampong atau didalam kota jika tiada diambilnya maka sama- sama dijual akan buah itu maka dipinta sepertiganya , dua bahagian yang punya kampong dan tuannya yang lama, jikalau tiada diberinya dan kuasa ia lalu ditebangnya pohon kayu itu , maka diberitahu oleh tuan lamanya kepada hakim maka disuruh bayar oleh hakim seluruh pohon itu sesuku pohonnya.
2.      Adapun hukum orang yang gadai dusun dan kampung itu dua perkara
a.       Harus gadai berganda
b.      Gadai sahaja
Adapun yang harus gadai berganda yaitu seperti seseorang bergadai dusun dan kampung yang ada tanam – tanamannya tetapi tiada berbuah selama memegang gadai itu maka dapat diganda oleh yang empunya mas akan masnya.
Adapun gadai yang tiada dapat diganda seperti seseorang bergadai dusun nyiur , pinang dan durian atau barang yang menyerupai demikian, kalau ada yang menggandakannya beritahu kepada hakim.
3.      Adapun jika mendapat pada kampung orang yang memegang gadai itu dibagi tiga hukumnya, demikan lagi kampung yang dianugerahi orang besar – besar , jikalau seseorang mendapat dibagi tiga sebagian ganda yang didapatinya, dan kampung dua bahagian ganda . Adapun dusun yang tiada bertuan , datang seseorang duduk pada dusun itu serta dimakannya buah – buahan dan dijualnya , ditagih oleh yang empunya kampung itu dapat didengarnya.


Pasal 20         :  Hukum berhuma ( berladang )
Pada pasal ini menyatakan Hukum berhuma atau berladang
1.      Adapun hukum berhuma atau berladang adapun tanahnya itu dibagi dua yaitu tanah hidup dan tanah mati . Dikatakan tanah mati niscaya tiada lagi perkataan diatasnya, jikalau diperbuatnya huma atau ladang atau dusun atau kebun tiada sesiapa yang berbunyi lagi. Dikatakan tanah hidup ada tandanya dan alamatnya ada orang yang punya dan jikalau diperbuatnya kampung atau rumah atau huma atau ladang pada tanah itu maka dapat didakwanya oleh orang karena tanah hidup dan jika dikelahinya didenda oleh hakim orang itu sepuluh emas.
Jikalau diperbuatnya dusun maka jadilah dusunya maka didengar oleh yang empunya dibahagi tiga harganya, sebahagi yang empunya tanah dan dua bahagi orang yang punya tanaman.


Pasal 21         :  Hukum lembu , kerbau yang nakal
Pada pasal ini menyatakan hukum lembu , kerbau yang nakal
1.      Jika ada kerbau ditambat dijalan orang lalu lalang maka ditanduknya oleh kerbau itu orang sampai luka maka didenda yang punya kerbau itu setahil sepaha.
Jikalau mati orang yang ditandukknya didenda seharganya.
2.      Hukum lembu yang nakal lepas pada jalan raya atau pada hutan makan tanaman jika menanduk orang mati atau luka dibunuh kerbau atau lembu tiadalah lagi perkataan dan jikalau ditangkap atau dibunuh orang kena setengah harganya.
3.      Adapun jika seseorang  menikam kerbau atau lembu bendahara atau temenggung atau penghulu bendahara atau syahbandar masuk ulur dari pada sekaliannya dan jikalau menikam kerbau atau lembu orang lainnya dari pada itu tiada masuk ulur jikalau kerbau itu menanduk orang tiada lagi perkataannya.
4.      Jikalau ada lembu yang sangat nakal lepas pada malam atau siang tiada lagi di kandangnya oleh tuannya dan jikalau dibunuh orang pada malam tiada lagi menggantikannya adanya jikalau dibunuh orang pada siang hari ketika masuk pagarnya kena setengah harganya dan jikalau dibunuh orang pada padang atau pada jalan dari pada sakit hatinya kena sepenuh harganya. Jikalau kerbau tiada bersalah dibunuh orang pada kandangnya kena sepenuh harganya lagi denda setahil sepaha adanya.
5.      Jikalau kerbau orang makan dipadang maka datang seseorang dibunuhnya kerbau itu kena seharganya dan didenda lagi sepuluh emas.


 Pasal 22         :  Hukum Huma yang terbakar
Pada pasal ini menyatakan hukum huma yang terbakar
1.      Adapun huma / ladang yang terbakar oleh orang lain sampai hangus tiada lagi salahnya dan jikalau hangus disuruh orang membuatnya sampai sudah ( selesai ).  Jikalau tanah itu orang besar yang punya dan jikalau huma tiada yang sama berhuma jikalau orang banyak sudah membakarnya maka seorang tiada mau membakar , jikalau dimakan babi atau bibit padi orang itu mengganti karena takshirnya tiada terkira olehnya dan lagi jikalau hangus padi orang itu mengganti atau di ganti semuanya.
2.      Adapun hukum seseorang mencuri pagar huma atau tanam – tanaman orang, jikalau bertemu dengan tuannya dirampas barang yang dibawa itu seperti keris atau golok, parang atau pisaunya atau barang sebagainya diambil sekalian dan orangnya diikat dibawa kepada tuannya.

Pasal 23 :  Hukum seseorang mendapat binasa, seperti orang lari, lapar,
                  mahal beras padi
1.      Pada pasal ini menyatakan hukum seseorang mendapat binasa, seperti orang dan orang lapar ,  mahal beras padi pada negerinya. Bersalahan dating bala Allah atas Raja dan orang – orang besar maka laparlah manusia dalam negeri itu sebab tiada makanan, maka berkata segala yang miskin dan yang fakir ambil kamu akan hamba tuan , berilah kamu makan juga untuk kamu , maka ambillah seperti diberinya itu makanan barang yang ada padanya.
2.      Kemudian ada pula bala lapar itu , maka oleh yang empunya makanan itu hendaklah dijualnya orang yang diberinya makan itu seperti diadukannya kepada hakim akan hal  orang yang hendak dijualnya itu maka tiadalah diberi oleh hakim dijualnya karen ia pada hakim akan hal orang yang hendak dijualnya itu maka tiadalah diberi oleh hakim dijualnya karen ia pada masa itu darurat namanya.
3.      Hanya disuruhnya beri setengah harganya jua kepada yang empunya makanan dan jikalau ada ia hamba orang tiada terberi makan oleh tuannya, maka hak makanan itu disuruh oleh hakim mengerjakan yang empunya makanan itu empat musim, kemudian dikembalikan ia kepada tuannya dan jikalau mati didalam suruhannya yang empunya makanan itu dengan setahu hakim tiadalah kena harganya lagi, dan jikalau tiada dengan setahu hakim mati hamba orang itu kena setengah harga jua yang empunya makanan karena jikalau ditebus mati yaitu hilang sehaja adanya.
4.      Adapun jikalau ada orang karam itu berharta sekedarnya, jika didapat oleh orang yang berlayar itu akan ia minta tolong kepada nakhoda perahu itu beberapa lamanya sampai ia kenegeri, maka hendaklah dijualnya oleh hakim atas segala merdeka itu  sepaha pada seorang adanya. Jikalau ada ia menemui pada pulau sebab angin maka binasa kena orangnya itu,  lima emas  jika merdeka , dan tujuh emas jika abdi pada tiap – tiap seorang adanya. Kalau nakhoda itu menemui sebab hendak berbaik , perahu tiadalah lagi hukumnya , Karena takshir nakhoda akan perahunya itu.
5.      Adapun hukum pengail jikalau ia tiada lagi berperahu, maka dapat samanya pengail kenalah tebusan pada seorang sepaha itu dan maka jika ada ia berperahu tetap berlayar dan pengayuh tiada lagi padanya kena tebus dua emas pada seorang adanya
6.      Demikianlah hukum orang pengail dan orang karam dilaut dan menebusnya sekalian hukum itu tersuruh kepada Syahbandar dan adapun hukum orang yang mendapat perahu hanyut lalu kelaut kena tebus setengah harga dan jika perahu berkira – kira panjang enam enam lebih kurang , jika jauh sekupang tebusannya.
Jika perahu kecil dua ganda dari tebusannya dan demikianlah hukumnya adanya. Adapun perahu hanyut yang tiada bertebus itu tiga perkara :
a.       Perahu yang kikerat orang talinya jikalau nyata hanyutnya
b.      Perahu yang dicuri orang lalu dibawanya maka terus dibuangkannya jika hanyut jauh sekalipun tiada juga bertebus
c.       Perahu Raja atau orang besar – besar tiada juga bertebus melainkan kasihannya juga.
7.      Sebermula adapun hukum orang yang mendapat sampan hanyut jauh yang dalam sampan itu ada harta benda itu dibagi tiga dan sebahagi kepada yang mendapat dan tebus sampannya sesuku dan jikalau didapat orang sampan hanyut kelaut yang ada harta benda didalamnya hukumnya di bahagi tiga juga dua pada yang mendapat dan sebahagi tuannya.


Pasal 24          :  Hukum mencuri hamba orang
Pada pasal ini menyatakan hukum mencuri hamba orang :
  1. Jikalau yang dicuri itu hamba raja harus dibunuh pencurinya.
  2. Jikalau yang dicuri hamba orang besar – besar denda sepuluh tahil sepaha
  3. Jika yang dicuri hamba orang kecil kembalikanlah hambanya dan didenda seharganya
  4. Jukalau mencuri hamba syahbandar hukumnya dirampas atau didenda sepuluh tahil sepaha
  5. Adapun jikalau nakhoda melarikan bea atau  cukai jika ia pulang kenegeri dirampas atau didenda sepenuh – penuh hukum karena ia meniadakan negeri itu melainkan ampun karunia juga adanya dan serahkan ia pada syahbandar akan dia karena adat negeri itu
  1. Sebermula hukum wakil – mewakilkan ada tiga perkara :
a.       Jikalau seseorang berwakilkan emas atau kain atau beras padi atau barang sebagainya kepada seseorang katanya berikan emas beta ini kepada saudara itu maka disampaikan orang itu memegang wakil kepada saudaranya tiadalah lain perkataan jika diberikannya oleh yang memegang wakil kepada saudaranya tiadalah perkataannya
b.      Dan jika diberikannya oleh yang memegang wakil kepada tangan anaknya, maka dibelanjakannya dan dimakannya oleh anaknya kemudian di pinta oleh yang berwakil , maka kata yang memegang wakil sudah beta berikan kepada tuan hamba seperti dihadapnya si anu  katanya yang empunya emas beta berikan kepada saudara beta tiada beta suruh berikan kepada anak beta, maka terjadilah berbantah kedua mereka itu maka diberinya tahu kepada hakim takkala dilihat oleh hakim surat itu di suruh berikan kepada saudaranya tetapi disuruh berikan kepada anaknya, maka oleh hakim sudah dikelahi oleh hakim anaknya itu disuruh memulangkan emas itu kepada orang yang memegang wakil itupun jika mau anak itu jahat fi’ilnya demikianlah hukumnya tiada mengganti yang memegang wakil.
c.       Dan jikalau tiada jahat fi’il anaknya disuruh pulangkan setengah emas itupun jika sama ada dalam negeri itu anaknya dan orang yang memegang wakil dan yang berwakil disuruh hakim bersemuka semuanya tiadalah yang memegang wakil menganti lagi pada yang punya emas itu, jikalau ghaib anaknya itu kena yang berwakil mendengar orang yang memegang wakil itu dan lagi suatu hukum. Jikalau anak itu baik tiada jahat maka dipinta emas bapanya kepada yang memegang wakil maka diberinya tahu segala hakim tiadalah didengar oleh bapanya kepada yang memegang wakil maka diberinya sampai dihabiskannya emas itu sekalipun karena sudah setahu hakim lepaslah takshirnya.
    
Pasal 25         :  Hukum berkawin
Pada pasal ini mengatakan hukum berkawin
1.      Apabila ada perempuan ada berbapa , bernenek atau ada saudara laki – laki itulah akan wilayah perempuan jikalau ada anaknya itu bikir ( perawan ) maka tiada jadi  syarat pada bertanya itu dan adapun jikalau bikirnya ( perawanan ) ada ia besar yakni akil baligh itu maka sunat , tetapi jikalau tiada ditanya pun harus hanya tiada beroleh sunatnya pada suatu qaul yang idzhar ( yang nyata dan terang ) adan ya.
Adapun akan nenek itu dari pada pihak laki – laki harus dipersuamikannya dengan tiada anak perempuan yang bikir ( perawan ) itu yakni dari pada cucunya karena bagi nenek itu wali mujbir namanya. Adapun arti mujbir yaitu dapat mengkelahi ( memaksa ) anak perempuan itu.
Adapun akan anak perempuan itu balu tondai ( janda ) mesti dengan izinnya juga harus bersuamikan dua, karena izinnya itu syarat bagi syahnya kawin.
Adapun balu kecil ( janda muda ) yaitu yang belum akil baligh jikalau ia balu ( janda ) tiada syah bagi nenek dan bapaknya bersuamikan dia, jikalau ada dengan izinnya.
Sekalian tiada dapat dinikahkan dengan laki – laki itu demikianlah melainkan baligh juga maka harus bersuamikan dia ini pada qaul yang syah.
2.      Adapun syarat barigh tiga perkara :
a.       Genap umur lima belas tahun
b.      Datang haid
c.       Berbulu pada ari – arinya dan inilah alamat atau tanda sudah baligh
3.      Adapun hukum wali itu sama ada bapak perempuan dan neneknya ( datuknya ) perempuan itu dari pada pihak laki – laki yang kedua – duanya bernama wali mujbir dan akan saudara bapanya dan keluarganya yang hampir ( dekat ) itu harus adakan wali jika tiada bapak atau neneknya itu wali aqrab namanya. Adapun wali aqrab itu keluarganya yang berhampiran atau terdekat jua harus mereka itu akan walinya.
4.      Adapun jikalau tiada wali itu takkala tiada diperoleh wali dari pada aqra itu kedua perkara tersebut maka rajalah walinya dari pada negeri sehari semalam hingga musyafaul qashar namanya dan jauh negeri itu ada wali perempuan itu maka harus hakim walinya.
5.      Adapun segala syarat itu berlakulah nikahnya, nikahnya pada kitab alwatutta’ah yang mulia adanya.
6.      Adapun jadi syarat pula lafal ijab dan qabul itu seperti dikata oleh wali aku persuamikan si anu akan dikau maka kata mempelai itu aku terimalah beristrikan akan dia inilah ijab dan qabul namanya.
7.      Jikalau ada bapak perempuan itu fasik seperti berzina dan meminum arak atau barang sebagainya. Itupun tiada harus akan wilayah itu adapun suatu qaul ( pendapat ulama ) dan wajah perempuan dapat perempuan yaitu berwakilkan yang fasik demikian lagi jikalau ada saudaranya itu fasik itupun hakim juga akan walinya, maka syahlah nikahnya.

        Pasal 26   ( Pasal keenam likur ) :  Hukum Syahid pada nikah
Pasal ini menyatakan syahid ( saksi ) pada nikah itupun sekurang – kurang saksinya pada berkawin yaitu dua orang jika tidak demikian tiadalah syah nikahnya.
Adapun yang akan menjadi saksi adalah orang shaleh yang adil dan laki – laki yang mursyid dan merdeka.
Adapun saksi yang menyebabkan tiada syahnya nikah adalah saksi orang fasik , abdi dan perempuan yang haid

       Pasal 27   :  Hukum Syahid pada nikah
Pada pasal ini menyatakan syahid pada nikah sekurang – kurangnya empat orang saksi, tetapi jikalau empat orang tidak ada orangnya

        Pasal 28   :  Hukum khiyar yaitu mata pada perempuan
Pasal ini menyatakan hukum khiyar yaitu tidak syah kawin dengan perempuan atas lima perkara yaitu :
Pertama                : Aib gila
Kedua                  : Aib Jadzam
Ketiga                  : Aib Berhash
Keempat              : Aib Retak
Kelima                 : Aib Karni
Adapun aib retak itu tempat faraj , aib karni yaitu yang tumbuh tulang , aib berhash yaitu seperti kedal ( kusta ) atau supak , adapun atas laki – laki kebiri itu orang dzakarnya lemah dan tiada syah kawin atas mereka itu.
Adapun akan orang berhash, djazam dan gila jikalau ada redha perempuan dan laki – laki ia redha akan aibnya maka tiada khiyar pada yang demikian itu.

       Pasal 29   :  Hukuman Talak
Pasal ini menyatakan hukum talaq ada dua perkara yaitu :
Pertama    : Thalaq Ba’in
Kedua      : Thalaq Raj’ie
Adapun thalaq Ba’in yaitu thalaq yang tiada lagi akan kembali dan thalaq Raj’ie yaitu thalaq dapat kembali rujuk.

Jika seorang perempuan dengan thalaq Ba’in ( Thalaq tiga ) tiada dapat kembali lagi melainkan jika hendak kembali dikawinkannya dengan laki – laki yang lain dari pada suaminya yang dahulu kemudian ia thalaq dengan perempuan itu maka iddahkan iddah adat yakni jikalau ia merdeka tiga bulan sepuluh hari dengan laki suaminya yang lama itu adanya.

Adapun pada thalaq Raj’ie yaitu seperti perempuan di thalaq dengan satu thalaq maka lalulah iddahnya dari pada tiga bulan sepuluh hari , jikalau lelaki itu hendak kembali maka tiada hukum thalaq ba’in dan tiada hukum dikawinkan dengan perempuan lain

Adapun ada merdeka mereka itu perempuan dan laki – laki harus kawin dengan abdi melainkan dengan empat syarat yaitu :
Pertama    : Merdeka itu redha ia kawin dengan abdi
Kedua      : Tiada tertahani nafsunya ingin kawin dengan badi
Ketiga      : Tiada diatasnya kuasa ia member isi kawin ( maskawin ) orang itu
Keempat : Bahwa abdi tersebut beragama islam
Jika tiada syarat itu maka batallah kawinnya atas qaul yang shah

Adapun akan perempuan merdeka yang akan kawin dengan laki – laki abdi jikalau ada syarat yaitu :
Pertama    : Ada redha perempuan merdeka atas laki – laki abdi tersebut
Kedua      : Diluluskan ( dibenarkan ) oleh keluarganya
Jika tiada dua syarat tersebut maka batallah kawin mereka

Pasal 30   :  Hukum segala cupak gantang
Pasal ini menyatakan hukum segala gantang dan cupak , segala hukum pasar  dan nakoda diujung teluk, kapal, perahu besar , perahu kecil yang datang dari suatu wilayah , dari pada berkelahi dan berbantah – bantah atau luka dan maki memaki sesama pedagang karena hutang piutang sekaliannya itu ada dalam hukum Syahbandar terserah kepadanya.

Pasal 31 : Hukum Berniaga
Pada menyatakan pada segala hukum berniaga itu dan haram bagi segala yang mengambil riba adapun pada hukum berniaga itu yang tiada syah berniaga bagi orang gila dan tiada syah berniaga dengan kanak-kanak yang belum aqil baliqh dan tiada syah berniaga melainkan dengan orang berjual juga seperti katanya benda ini, maka kata yang membeli benda itu dan dahulu benda itu hendak bertentu bendanya itu adanya.

Sebermula tiada harus berniaga seperti tuak, harak, anjing dan babi an segala yang bersifat haram dan bersemula segala katanya seperti gajah akan kenderaan barang yang seperti itu syah berniaga dengannya.

Sebermula syah berniaga yang dapat dikuasakan menyusahkan dia dan tiada syah berniaga berjual hamba orang lain oleh tiada bertentu tempatnya tiada dikuasa akan menyerahkan dia adanya.

Sebermula hendaklah benda yang dijual itu milik atau milik walinya seperti benda kanak-kanak yang kecil bapanya atau neneknya menyuruh ia berjual ia atau wakil disuruhkan berniaga, jikalau tidak dengan syarat itu tiada syah berniaga itu adanya.

Bermula berniaga harus ia memilih hendak dilakukannya perniagaannya itu atau dipulangkannya sementara belum cari tempatnya berniaga itu atau berjanji tiga hari perkataan diambilnya jika tiada perkataan diambilnya bermula jika tiada perkataannya dikembalinya bermula tiada syah berniaga emas dengan emas dan perak melainkan suatu jenis yakni emas suatu jenis yakni dan berniaga makanan janji tunai maka syah apabila niaga rumah itu tiada harus dalam perniagaan itu barang sekali yang dapat dicari-carinya dalam rumah itu dikembalikannya kepada yang empunya rumah itu juga adanya.

Pasal 32 : Hukum Berjual Bumi
Pada memnyatakan berjual bumi masuk kayu-kayuan dalam bumi itu melainkan bumi akan yang berjual jika tiada disebutkan jika ada yang ketam berulang-ulang seperti udah pertama ketamnya itu akan yang berjual.

Kemudian akan orang membeli dia melainkan berjanji istiadat karena janji jikalau ada didalam bumi itu pohon kayu yang berubah maka tiada disebutkannya buahan itu, jika berputik tatkala yang berjual, maka jikalau berputik akan yang membelinya itu adanya.

Bermula perihal mengambil ikan bandeng dibeli itu dengan sebab ada aibnya apabila membeli sesuatu maka kelihatan atas benda itu aib sedia maka kembalikannya apabila benda yang dilihat maka dikembalikannya segala tahunya dipercerainya seperti tahu menuju dan menyerta tiada harus dipinta lagi oleh tuannya yang menemui itu adanya.

Bermula jikalau hamba yang menebas itu menang pada yang menebas itu, maka beranak maka anaknya itu akan yang menebas tiada yang dikembalikan anak-anaknya dengan ibunya.

Bermula penyakit harus dikembalikan ‘aibnya harus dikembalikan seperti orang periyaran dan permuka mencuri dan bermula dan giladan hamba orang itu bersuam atau ia supak dan kedal atau gila babi dapat dikembalikan adanya.

Bemula jika dibelinya suatu benda pada tangan yang membeli berjual benda itu maka celanya ada sedia dapat dikembalikan tetapi dihargakan benda itu, jika ada aibnya sedia yaitu dua delapan demikianlah aksamnya harga ‘aib lenda itu dan jika redha membeli menerima benda itu dan jika dikembalikan benda itu dengan seperti tambang pulangkan syarat-syaratnya, apabila bersalahan pada janji yang berjual dan yang membeli maka bersumpah-sumpahan pada harganya itu atau kerja benda itu menyatakan hukum sekedar yang harus diperniagakan.

Pasal 33 : Hukum Sandra
Menyatakan hukum sekedar harus diperniagakan dia benda disandarkan pada hutang itu, apabila dihutang; yaitu sekedar harus akan hutang saudaranya itu.
Bermula jika hilang benda itu yang disandarkan itu seperti minta dengan tiada takshirnya karena orang yang empunya meriam itu seperti minta dengan tiada takshir memilih memberikan setengah hutang orang yang akan menyandarkan itu tiada harus keluar benda sandaran itu yaitu dari pada tangan yang memegang sandar itu melainkan membayar hutangnya maka harus kembali sekedar itu.
Apabila tiada mau orang yang mengambil sekedarnya takkala sampai janji dijualkan oleh hakim akan pembayaran harganya itu ada.

Pasal 34 : Hukum orang yang berpiutang
Menyatakan orang yang mengasih barang siapa piutangnya dari pada hartanya oleh segala yang empunya harta mengasih itu dari pada melakukan kehendaknya dalam hartanya maka ditahaninya oleh hakim bahwa makelar itu melakukan akan kehendak dalam hartanya itu adanya.
Apabila ada seorang dari pada perempuan harta itu mendapat aib benda dalam hartanya makelar itu bagi ia yakni bendanya, apabila jika didapatnya setengah hartanya yang tinggalnya dan apabila diluar baginya segala nyata dengan yang empunya harta yang kemudian dari pada oleh hakim tiadalah segala adanya

 Pasal 35   :  Hukum kelakuan didalam arti tidak syah memberi
                     dagangan
Pada menyatakan kekuatan dalam hartanya tiada syah itu memberi dagangan, bermula kanak – kanak dan wakil dan orang yang berlaku kelakuannya didalam hartanya sehingga makelar dari pada jalannya itu syah salah adanya.
Kemudian dari pada ikrar dalam segala harta tiada sah salah adanya. Kemudian dari pada ikrar dalam segala harta tiada syah salah dalam pekerjaannya pada orang yang tiada bertentu dan bermula syah salah itu enam bagi suatu seperti hukum meminjam keenam seperti hakim umpanyanya.
Adapun yang pertama : Seseorang menuntut rumah pada tangan seseorang maka ikrarkan rumah itu pada disyahkan rumah itu atas seratus timah maka salah itu seperti hukum berniaga dapat memilih, jika diturutkan pada ketika itu berjanji tiga hari.
Kedua : Bagi hakim menuntut seseorang laki – laki seratus dinar emas maka ikrar ia maka disalahkan dengan seribu dirham perak seperti hukum berniaga emas dan perak adanya.

Ketiga : Bagi jika dua salahkan dengan lima dinar emas  adalah hukumannya menjelaskan kena setengahnya.
Keempat : Bagi jika seorang laki – laki mendapat rumah atau kampung maka ikrarkan tuntunya maka disalahkan bahwa akan ada jaminnya setahun hukumnya seperti perjanjiannya.
Kelima : Jika salah mendo’ai dengan mendi’oa ‘alaihi dari pada rumah diperserahkannya pada hambanya seorang baginya setahun adalah salah itu ijazah namanya yakni didengar oleh seseorang laki – laki kepada seorang laki – laki ikrar ia, tetapi kata mendo’ai ‘alaihi adalah salah ijazah nama adanya.
Keenam : Jika seseorang laki – laki menuntut rumah atau kampung maka ikrar itu maka disalahkan atas setengahnyalah seratus pemberian tiada salah melainkan pertama hendaklah beruntunan harus mengakui hutang orang lain adanya.
Apabila diketahuinya oleh telah mengetahui baginya kadar tunai atau diperhutangkan benda yang diakuinya itu dan tiada syah yang mengaku melainkan yang berlaku kala kuatnya dalam hukum – hukum syara’ adanya.
Bermula bagi yang menyuruh berhutang dibayarnya hutangnya pada waktunya membayarnya yang ngaku tiada dipintanya kepada hukumnya seperti diberinya tiada harus mengaku emas dari pada perak itu adanya.
Bermula harus mengaku tunai dari pada bertingkah dari pada tunai tiada mengaku harta terkesan tiada fardhu itu seperti suatu tuntutan belum nyata tiada diharuskan mengakui taubat orang dengan pesuruh yang diakuinya itu seperti meminjam tiada mengambil akuan dengan ia hendak bendanya tiada harus meminjam barang, karena tiada kekal yang dipinjam itu tiada yang mengembalikan benda itu pada yang meminjamnya kemudian benda yang dipinjam itu hilang atau binasa jika tiada takshirnya sekalipun adanya.
Bermula benda yang dipinjam jika diberinya semuanya mengambillah yang dipinjam itu, jika tiada dengan takshirnya.
Bermula jikalau seseorang laki – laki kepada suatu tempat akan pekerjaan diberinya kendaraannya ketika mati atau binasa kendaraannya itu harus memilih adanya.
Hirnya


Pasal 36    :  Hukum member modal pada orang
Pada menyatakan perihal memberi modal kepada seseorang bahwa berkata yang memberi emas kepada disuruhnya, ambillah olehmu dinar emas atau dirham perak dan perniagakan olehmu labanya kita akan engkau sekalian labanya hendaklah ditentukan akan laba perniagaan itu sama ada binasa atau rugi tiada dapat menyalahkan diperniagaan itu maka hilang harta itu, jika tiada dengan takshirnya jua
Bermula tiada diharuskan dijanjikan kepada membawa dibantui lainnya, itu lebih membayar dari pada asalnya ( pokoknya ).
Jika mengambil emas itu dengan janji kemudian dibayarnya tiada mengapa jikalau tiada ada perniagaan itu adanya.

Pasal 37    :  Hukum amanah
Pada menyatakan amanah , apabila bertaruh amanah itu maka jadi amanah pada seseorang jika diamnya hendaklah diperlihara amanat itu pada tempat memeliharakan amanah itu. Maka jadi binasa amanah itu tiada dengan takshirnya tiada menyalahi, jika dipakai orang yang menaruh amanah itu, jika dengan disuruh yang empunya amanah sekalipun adanya.
Pada ketika dipakainya ia yaitu masa hendak disalahnya dan apabila berlayar yang menerima amanah itu dikembalikannya kepada empunya amanah, jika tiada empunya amanah pada wakilnya yaitu Qadhi atau amil dibawanya berlayar dan jika binasa juga adanya.
Bermula jikalau amanah orang pelayaran barang dibawa kemana ia hendak pergi dibawanya, jikalau berkata orang yang menerima amanah bahwa sudah dikembalikan amanah itu kepada orang yang empunya ada saksi tiada keduanya bersumpah yang menaruh amanah tiada pada sumpah hendaklah saksi jika katanya kembalikan kepada orangnya itu empunya harta, jika tiada ada saksi bersumpah warisnya.
Bermula jika berkata yang menaruh amanah bahwa sudah dikembalikan pada sianu dengan katanya mungkin yang empunya itu bersumpah yang empunya harta itu disilakannya oleh amanah itu adanya

Pasal 38    :  Hukum Ikrar
Pada menyatakan ikrar dua perkara dan yang pertama pada hak Allah seperti minum dan zina. Kedua hak manusia dan adapun hak Allah itu dikabulkan, jika ia kembali dari pada ikrarnya dan bermula hak manusia tiada harus dikabulkan. Jika ia kembali semula tiada syah ikrarnya melainkan dengan tiga perkara sesuatu yang belum akil baligh dari pada anak – anak. Kedua orang gila dan Ketiga ikrar yang dikelahi adanya.
Bermula jika ikrar tiada tertentu tiadakan kenyataannya maka bermula hukum ikrar syubhat dan sakit adanya.

Pasal 39    :  Hukum Murtat
Pada menyatakan hukum murtat. Apabila orang itu murtat disuruh taubah tiga kali dan jika tiada mau taubat dibunuh hukumnya, jangan dimandikan dan jangan disembahyangkan dan jangan ditanam pada kuburan orang Islam
Bermula orang sembahyang atas dua perkara meninggalkan rukun tiada itikadnya pada fardhu sembahyang dalam itikadnya pada fardhu sembahyang dalam itikad bahwa sembahyang itu fardhu adanya.
Disuruh sembahyang jika tiada dia sembahyang oleh karena kesakitannya tiada dengan uzurnya disuruh bertaubat didenda tiga, jika sembahyang banyak pada jalan itu, jika tiada mau sembahyang dibunuh tetapi hukumnya seperti Islam mati ditanamkan kepada kubur orang muslimin dan muslimat adanya.

Pasal 40    :  Hukum saksi tidak dikabulkan
Pada meyatakan saksi tiada dikabulkan melainkan berhimpun pada saksi itu atas lima perkara. Pertama Islam; Kedua Baligh dan akil; Ketiga Adil dan Keempat hendaklah ia menjauhkan diri dari dosa – dosa besar dan dosa kecil dan banyak kelakuan dan jangan mukaku besar dan memelihara lakunya seperti namanya. Kelima tahu akan cerita dan persoalan yang akan disaksikannya itu adanya.
jika Bermula tiada rata ia itu melainkan empar orang kekal dan jika tiada empat melainkan dua laki – laki segala hal minum arak dan tuak mencuri dan menyamun dan membunuh orang murtat dan qias pada nyawa dan anggota di had muka dan ikrar pada segala perkara ini dan nikah dan thalaq dan mereka itu beragama Islam dan pada amanah, wakil dan syiqaq dan ikrar dari pada segala perkara ini melihat bulan ramadhan pada seseorang pun yang bersalah adanya.
Bermula tiada sabit melainkan dua orang laki – laki atau seorang tiada sabit dengan perempuan sebanyaknya pada tidak dan berhalangan dan mengambil akan benda yang dibeli jika berjualan dan sandar pada jual dan mengaku pada salah dan melepaskan pada orang  dan meminjam dan pada upahan dan pada sekutu dan memberi pada merampas dan membinasakan.
Bermula tiada sabit melainkan dua orang laki – laki atau seorang laki - laki dan dua orang perempuan atau empat orang perempuan pada beranak dan bikir ( perawan ) dan sabit yakni janda pada segala ‘aib perempuan dan segala yang terbanyak pekerjaannya segala perempuan mengetahui ia adanya.

Pasal 41    :  Hukum menuntut yang dituntut
Pada menyatakan menuntut dan yang dituntut dari pada Nabi Shallaalahi ‘alaihi wa salaam, saksi atas yang menuntut dan sumpah atas yang mungkir mendapat tiada berhabar kepada qhadi tiada daripada yang menuntut menyatakan benda yang dituntutnya kadarnya dan baginya dan benar ia empunya, jika menuntut menyatakan emas hendak dikatakannya emas dan menuntut dan timbangan adanya.
Bermula jika menuntut manikam (jenis permata) hendak dikatakannya harganya karena manikam (jenis permata) tiada dapat diqiaskan harganya yang kecil dan yang besar, dikalanya yang kecil harganya ada kalanya yang besar berkurang harganya.
Bermula jika menuntut dikatakan benda perhiasan dan baginya dan harganya maka didengar oleh hakim tuntutannya maka ia oleh hakim adalah saksimu jika ada saksi disuruh bersumpah orang yang menuntut dan jika ia bersumpah orang yang dituntut tiada mau beradukan sumpah itu pada menuntut hendaklah yang itu bersumpah, hal tiada ia mau bersumpah hilanglah tuntutan.
Bermula hal menuntut pada orang yang mati pada orang gila ataupun pada orang, aib jauh sehari semalam hendaklah dipanggil hendaklah dengan disinggahi orang yang menuntut itu dengan disuruh yang dituntut itu jikalau menuntut barang orang itu tiada ada saksinya disuruh bersumpah seperti qias dahulu juga, jikalau menuntut barang orang belum dikatakannya hambanya, maka orang itu asal merdaheka hendaklah merdaheka saksi dari pada yang menuntut dan dituntut disumpahi adanya.
Jika tiada saksi yang mengatakan merdaheka itu maka jikalau tiasa saksi yang menyatakan merdaheka itu maka jikalau tiada diantara keduanya mengadakan saksi – saksi maka bicara itu batal keduanya.

Pasal 42    :  Dari pada Nabi Muhammad SAW  “ Akil baligh seorang
                     membunuh  seorang islam dengan sengaja “
Pada menyatakan apabila akil baligh seseorang membunuh orang islam dengan sengaja laki – laki atau perempuan, besar atau kecil. Bermula tiada diharuskan orang islam dibunuh sebab membunuh itu namanya kafir dan tiada harus mardaheka dibunuh kafir dan harus mardaheka dibunuh sebab membunuh abdi dan tiada dibunuh bapak sebab membunuh anaknya. Sebermula jika tahu ia membunuh atau kafir majusi maka atasnya dibunuh tiada ditahani dibunuhnya, jika ia menjadi islam sekalipun adanya.

Pasal 43    :  Hukum hal zinah
Pada menyatakan had ( hukum ) zina dua perkara pertama namanya mukhsin dimana laki – laki atau perempuan yang sudah dengan nikah yang sah dan tiada mukhsin laki – laki atau perempuan beristri dan perempuan yang belum bersuami itu adanya.

Bermula maka yang mukhsin hukumnya dirazam dilontarkan dengan batu hingga mati, maka ghairu mukhsin ( tidak mukhsin ) hadnya atau hukumnya 100 kali palu ( didera ) dan dibuang keluar negeri setahun lamanya .

Bermula yang mukhsin itu ada empat perkara yang pertama beragama islam dan baligh dengan berbeda dan tiada gila dan bermula hamba perempuan hadnya ( hukumnya ) setengah dan mardaheka lima palu ( cambuk ) adanya.
Bermula keduanya dan menyertai binatang seperti jua adanya. Maka tiada disetubuhi peluk cium jika ditarifkan bukan zina dihadkan dua puluh jua adanya.
Bermula dihukumkan hakin zina dengan ikrar empat orang saksi laki – laki dan merdaheka melihat orang zina itu seperti uluk – uluk masuk ke farajnya perempuan itu adanya.
Bermula jika orang – orang saksi dari kata selama melihat zina disaratkan pencuri lain, maka tiada sahih hukum zina itu hendak sekata keempatnya saksi itu maka sahih hukum zina itu adanya.

Pasal 44    :  Hukum memaki orang haram zadah
Pada menyatakan hukum memaki orang haram zina dan adapun seseorang memaki seseorang maka mungkir ia yang demikian itu dari pada bersaksi maka didera dua puluh orang yang mamaki itu adanya.
Bermula memaki hamba yang dipalu ( didera ) empat puluh palu ( dera ).
Bermula apabila selama ada atau kafir dihadkan ( dihukumkan ) orang yang di maki itu hingga ditafsirkan oleh hakim adanya.

Pasal 45    :  Hukum Khadi minum arak
Pada menyatakan had ( hukuman ) orang minum arak dan sebagainya yang memabuki, barang siapa minum arak atau tuak barang yang memabukkan dihad ( dihukum ) empat puluh palunya ( deranya ) dan jika ia merdaheka dua puluh juga hadnya, abdi dihadkan perkara suatu dengan ikrar dengan dua orang saksi laki – laki tiada dengan dihadkan ( dihukumkan ) dengan ciuman bau tuak mulutnya yakni tiada dihukum padanya.

Pasal 46     :  Pada menyatakan mengambil upah dari pada menyatakan pegawai raja ( tata tertib pegawai raja ) terhadap raja. Kewajiban raja terhadap rakyat.  Kewajiban menteri terhadap raja. Syarat – syarat menjadi raja,   menteri,khadi.  Perkataan perkataan supaya hamba Allah Taa’la pelihara  dengan kurnia Tuhan
Pada menyatakan orang yang mengambil upahan dan naik kayu atau menebang kayu adanya. Adapun jikalau diupah oleh seseorang hamba orang itu maka tiada setahu tuannya jikalau mati atau patah pungkah diganti dengan itu seperti harganya dengan itu yakni sebagai tambal ( tambahan ) dua bahagi hilang adanya. Adapun jikalau dengan itu dipinjamkan pada tuannya maka ditentukan pada tuannya pada kata yang meminjam beta hendak suruh naik kayu, maka tuannya baik kalau – kalau mati kehendak hati tuannya suruhlah, maka disuruh naik kayu oleh hamba meminjam itu, maka jatuh mati diganti setengah harga adanya. 

Pasal 47     :  Adat tunang meminang

Pasal 48     :  Adat membakar lading

Pasal 49     :  Angga, Eleng, Male, Pataka, Makna, Wazir
1. Angga :  tidak mau menjadi laki bini dengan tiada suatu sebab apa – apa. Jikalau Angga datangnya dari sebelah laki, maka hukumannya  semua uang antaran dan semua barang – barang yang telah diberikannya itu tidak dikembalikan oleh pihak perempuan . Jikalau Angga datangnya dari sebelah perempuan maka hukumannya wajib dari sebelah perempuan itu mengembalikan sekalian uang dan sekalian barang yang telah diterima dari pihak laki – laki. Kasai langgir dan uang paling tinggi 66 suku dan paling bawah 6 tali .
2.  Eleng  :   yakni helah , artinya membuat akal dan membuat sebab supaya tidak menjadi laki bini. Jika helah ini datangnya dari pihak laki maka hukumannya hilanglah segala uang dan sekalian barang yang telah diantarkan dan diberikan kepada sebelah perempuan serta didenda harus membayar kepada pihak perempuan sejumlah uang yang telah diantarkan dahulu itu separohnya. Sehubungan dengan itu terlebih dahulu dilakukan musyawarah antara kedua belah pihak , apabila setelah dipertimbangkan dan menurut pandangan orang ramai , bahwa sebelah pihak laki keadaanya ternyata sangat miskin , ia membayar kepada pihak sebelah perempuan 6 tahil saja serta dengan kasai langgir. Kalau helah datangnya dari pihak perempuan dan keadaanya juga miskin, maka hukumannya juga sama dengan apa yang telah dilakukan oleh pihak laki. Sekalian hukuman yang tersebut diatas orang – orang yang membuat helah sama berada baik sebelah laki maupun sebelah perempuan , maka harus sampai harus berjual rumah tangga atau harta benda untuk membayar hukuman.
3. Male  :      yakni kemalangan yang artinya kematian dua orang yang bertunangan maka si laki yang meninggal , hukumannya atas pihak perempuan memulangkan sekalian uang dan segala barang antaran sebanyak yang telah ia terima dengan tiada kurang sesuatu apa – apa . Jika si perempuan yang meninggal , hukumannya hilang sekalian uang dan sekalian barang antaran yang telah ia terima yakni dipulangkan oleh pihak perempuan laki – laki hanyalah uang dan barang itu untuk belanja memelihara atas nama yang meninggal . Akan tetapi jika pihak laki – laki kuat mendakwa minta dikembalikan antarannya maka dikembalikan separoh. Apabila pihak perempuan sangat daif, miskin, tidaklah dikembalikan satu apapun . Jika apabila kedua – duanya meninggal , uang dan barang – barang antaran di kembalikan separoh.
4.  Pataka  :  yakni penyakit yang artinya apbila dua orang yang bertunangan itu salah seorang dari mereka itu dapat penyakit , maka yang tidak kena penyakit salah seorang dari padanya itu tidak mau berlaki bini . Jika si laki yang kena penyakit , maka hukumannya terhadap pihak perempuan diwajibkan mengembalikan atau memulangkan uang dan barang – barang antaran yang telah ia terima dari pihak laki – laki . Jika si perempuan yang kena penyakit , hukumannya mengembalikan separoh dari uang dan barang antaran yang telah ia terima dari pihak laki – laki , separohnya untuk belanja obat tunangannya yang sakit. Apabila si laki tiada mau menjadikan berlaki bini dengan sebab tiada disukai oleh pihak perempuan , jika keduanya sakit , maka apabila keduanya suka , maka mereka harus dikawinkan dan jika siapa yang tidak mau dikawinkan , maka masuklah dalam angga atau eleng hukumannya.

5.  Ujud Fitnah  : artinya Tohmah , si laki mengatakan bahwa tunangannya dipegang orang lain atau suka dengan orang lain , maka tetapi tiada saksi dan dimintakan kepada pihak laki untuk mencari saksi dalam waktu 7 hari . Apabila pihak laki tidak memberikan keterangan yang benar adalah fitnah . Apabila pihak laki  memberikan keterangan yang benar , maka siperempuan dihukum mengembalikan seluruh uang dan barang – barang antaran yang telah ia terima dari pihak laki – laki atau separohnya. Apabila si laki tidak dapat saksi dan tidak mau kawin , sekalian uang dan sekalian barang – barang antarannya itu hilang atau tidak dikembalikan oleh pihak perempuan kepada pihak laki – laki .
Orang tua – tua dahulu pada waktu melamar tidaklah menyebutkan Angga, Eleng, Pataka dan Ujud Fitnah secara terus terang dimajelis pinang meminang , karena takut jadi Tungkal Kemali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA PEMERINTAHAN KESULTHANAN SAMBAS ISLAM PEROIDE 1829 - 1943

A.   Raden Sumba bergelar Sulthan Usman Kamaluddin               Raden Sumba adalah putra Sulthan Umar Aqamadin II dengan Permaisuri bernama Mas Siti Binti Pangeran Mangku anak Raden Ratna Kumala Binti Sulthan Muhammad Tadjudin , dilahirkan pada dilahirkan pada hari Kamis, 2 Zulqaidah 1184 H , diangkat sebagai wakil sulthan pada Minggu, 2 Muharram 1244 H bersamaan 14 Juli 1828 M menunggu putra mahkota Pangeran Ratu Natakesuma Bin Sulthan Muhammad Ali Tsafiuddin I dewasa.               Pada malam Kamis   7   Ramadhan 1247 H atau   tanggal   8 Februari 1832 M karena sakit tua , Sulthan Usman Kamaludin wafat dalam usia 61 tahun.   Sulthan Usman Kamaludin dikaruniai putra – putri sebanyak 10 orang yaitu : 1.     Urai Lisyah bersuamikan Pangeran Suta di Kampung Asam. 2.     Pangeran J...

MASA PEMERINTAHAN KESULTHANAN SAMBAS ISLAM PEROIDE 1631 – 1829

A.     Raden Sulaiman bergelar Sulthan Muhammad Tsafiuddin I                Seperti yang telah diceritakan terdahulu bahwa Sulthan Sambas Islam yang pertama dari dinasti baru adalah Raden Sulaiman yang dinobatkan di Lubuk Madung pada hari Senin 10 Zulhijjah 1040 H dengan gelar Sulthan Muhammad Tsafiuddin I. Pada masa pemerintahaanya baginda telah menanamkan patok sejarah dengan membuka pusat pemerintahannya yang baru. Sulthan Muhammad Tsafiuddin I   juga telah menyatukan pemerintahan kerajaan Sambas yang terpecah dua yaitu yang berpusat di Lubuk Madung dan yang berpusat di Kota Balai Pinang. Baginda juga berhasil menyatukan kembali hubungan kekerabatan yang telah retak pada masa Ayahnya Raja Tengah dengan Sulthan Brunai, dengan mengutus anaknya Raden Bima ke Brunai untuk bertemu dengan Sulthan Brunai yaitu Sulthan Mahyudin.           ...

LATAR BELAKANG KERAJAAN SAMBAS

A.       Latar Belakang                Kesulthanan Sambas adalah salah satu Kesulthanan Melayu di Kalimantan Barat yang berpusat di daerah pesisir pada aliran Sungai Sambas Kecil . Pusat pemerintahan terletak dipertemuan tiga buah sungai yaitu Sungai Sambas Kecil , Sungai Teberau dan Sungai Subah disebut dengan nama Muara Ulakan. Penyebutan istilah Kesulthanan di Sambas bermula pada saat Raden Sulaiman dinobatkan menjadi penguasa di Sambas dengan menggunakan gelar Sulthan Muhammad Tsafiuddin.                Adapun wilayah yang termasuk kedalam Kesulthanan Sambas sekitar 23.320 Km² dengan batas – batas sebagai berikut : di sebelah barat dan barat daya berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Daerah pantai ini terbentuk dari utara ke selatan ; dimulai dari Tanjung Datuk sampai muara Sungai Duri. Di sebelah utara berbata...